Bismillah.
Salah satu nikmat yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah ketika Allah berikan taufik kepadanya untuk mengingat Allah. Ingat kepada Allah, takut kepada-Nya, dan menggantungkan hati kepada-Nya adalah lentera dan cahaya bagi kehidupan insan.
Kita semua -sebagai manusia- tentu tidak lepas dari kesalahan dan dosa. Suatu hal yang semestinya membuat kita takut apabila berjumpa dengan Allah dalam keadaan durhaka kepada-Nya. Karena itu seorang muslim sering berdoa kepada Allah agar terhindar dari su’ul khotimah; akhir hidup yang buruk. Kita sangat mengharap bisa meninggal dalam keadaan istiqomah di atas agama.
Islam sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama mencakup tiga tingkatan; islam, iman, dan ihsan. Tingkatan islam mencakup perkara-perkara lahiriah semacam syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Adapun tingkatan iman mencakup perkara lahiriah dan diperkokoh dengan pondasi keimanan yang kuat berupa iman kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir. Dan tingkatan yang tertinggi adalah ihsan; dengan merasa diawasi oleh Allah dan melakukan ibadah seolah-olah melihat-Nya.
Ketika seorang menyadari bahwa Allah senantiasa melihat apa yang dia lakukan. Allah mendengar apa yang dia ucapkan. Dan Allah mengetahui apa yang dia kerjakan, bahkan apa pun yang terbersit di dalam hatinya. Allah bersama dirinya dimana pun dia berada. Karena itulah para ulama dipuji oleh Allah disebabkan rasa takutnya kepada Allah -yang mahamengetahui apa yang mereka lakukan- (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (Fathir : 28)
Dari sinilah kita mengetahui betapa dalam ilmu sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu adalah dengan rasa takut kepada Allah.” Sehingga bukanlah ilmu yang dituntut sekedar banyaknya wawasan atau luasnya pengetahuan. Akan tetapi ilmu yang bisa bersemayam di dalam hati dan membuahkan amalan. Bukan ilmu yang hanya menempel di lisan tapi tidak meresap ke hati.
Apabila hal ini telah jelas bagi kita, maka kita akan mengetahui bahwa sebab kemuliaan para sahabat bukanlah karena luasnya pengetahuan dan kuatnya hafalan mereka. Kalaulah kuatnya hafalan dan bagusnya bacaan menjadi standar keilmuan maka kaum Khawarij lebih baik dari para sahabat! Oleh sebab itu dalam sebuah riwayat Ibnu Mas’ud menjelaskan sifat-sifat para sahabat, “Mereka adalah orang yang paling bersih hatinya dan paling dalam ilmunya…”
Di dalam riwayat ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan baiknya ilmu para sahabat dengan 2 sifat; ilmu yang dalam dan hati yang bersih/baik. Kedalaman ilmu diukur sejauh mana ia bisa menumbuhkan amalan dan rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah menyifati kaum beriman sebagai orang yang takut kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah yang apabila disebutkan nama Allah takutlah hati mereka….” (al-Anfal : 2)
Oleh sebab itu Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu ada 2 macam; ilmu lisan dan ilmu yang di dalam hati. Adapun ilmu lisan adalah hujjah Allah untuk menghukum seorang ketika dia tidak mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang meresap ke dalam hati; itulah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang menancap ke dalam hati tentu membuahkan keimanan dan ketundukan.
Lihatlah bagaimana Allah mencela orang munafik sebagai orang yang bodoh karena mereka menjelek-jelekkan nabi dan para sahabat. Lihatlah bagaimana Allah memurkai kaum Yahudi yang tidak mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka bisa mengenali tanda kenabian beliau sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri. Begitu pula Allah mencela ahlul kitab yang diberikan Taurat tetapi tidak mau mengamalkannya seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Menghadirkan perasaan selalu diawasi Allah bukanlah perkara yang sepele. Lihatlah bagaimana kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika menghadapi godaan majikannya yang cantik untuk melakukan keharaman. Lihat bagaimana kesabaran dan keyakinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah bersama Abu Bakar menuju Madinah dan bersembunyi di dalam gua, lalu beliau berkata, “Jangan sedih, sesungguhnya Allah bersama kita…”
Lihatlah bagaimana keyakinan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berlari dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya kemudian ketika mereka sudah berada di tepi laut -musuh di belakang mereka dan lautan di depan mereka- sebagian pengikut Musa berkata, “Kita pasti akan tertangkap.” Maka Nabi Musa dengan penuh keyakinan mengatakan, “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya bersamaku Rabbku, Dia pasti akan memberikan petunjuk kepadaku…” (asy-Syu’ara’ : 62)
Merasa diawasi oleh Allah tidak akan bisa muncul kecuali di dalam hati yang bersih dari keragu-raguan. Oleh sebab itu Allah menyifati hati kaum munafik sebagai hati yang menyimpan penyakit. Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa penyakit itu adalah keragu-raguan, dan sebagian lagi menafsirkan maknanya adalah riya’. Allah pun menjelaskan salah satu sifat kaum munafik adalah riya’ kepada manusia dan tidak ingat kepada Allah kecuali sedikit. Riya’ nya menunjukkan bahwa hati mereka kosong dari keikhlasan. Dan tidak ingat kepada Allah kecuali sedikit menunjukkan keringnya hati mereka dari dzikir kepada Allah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, bagaimana keadaan seekor ikan apabila memisahkan diri dari air?”
Riya’ inilah yang menghapuskan segala kebaikan yang dilakukan oleh orang munafik. Sebagaimana syirik menjadi sebab lenyapnya amalan kebaikan orang kafir. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amalan yang pernah mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Oleh sebab itu salah satu diantara tiga orang yang menjadi bahan bakar api neraka adalah orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya tetapi tidak ikhlas karena Allah. Dia riya’, dia belajar agama supaya dikatakan sebagai alim atau ahli agama. Dia membaca qur’an supaya dikatakan sebagai qari’. Amalnya yang luar biasa besar tidak berguna baginya karena tidak dilandasi dengan keikhlasan. Dimana letak kesalahannya? Tidak lain karena ilmunya tidak membuahkan keikhlasan niat di dalam hati. Ilmunya hanya menjadi wawasan dan perluasan cakrawala.
Dari situlah tidak mengherankan jika Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Setiap orang yang merasa takut/khosy-yah kepada Allah itulah orang yang ‘alim/ulama.” Maksud perkataan beliau ini -wallahu a’lam- adalah tidaklah disebut sebagai ulama sejati kecuali orang yang ilmunya membuahkan rasa takut kepada Allah. Alias ilmu yang tidak membuahkan kesombongan dan sifat ujub. Ilmu yang melahirkan sifat tawadhu’ dan ketundukan kepada kebenaran.
Lihatlah kesempurnaan ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana beliau mengajarkan kepada kita untuk selalu mengakui akan dosa-dosa kita dan banyaknya nikmat Allah yang tercurah kepada hamba. Dalam sayyidul istighfar kita membaca doa yang berbunyi abuu’u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu’u bi dzanbii… artinya, “Aku mengaku kepada-Mu akan segala nikmat-Mu yang tercurah kepadaku, dan aku mengakui atas segala dosaku…”
Begitu pula kedalaman ilmu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu ketika mengatakan kepada para sahabatnya -setelah beliau menjabat sebagai khalifah-, “Aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Akan tetapi aku adalah orang yang paling berat bebannya diantara kalian. Apabila aku melakukan suatu kesalahan/keburukan maka luruskanlah aku….”
Ilmu semacam inilah yang membuat Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa-dosa itu bisa menimbulkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamaku.” Itulah yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti sedang duduk di bawah gunung; dia takut gunung itu jatuh menimpanya.”